Foto di atas diambil sabtu lalu di tepian pantai Cipenyu kecamatan Panimbang Kabupaten Pandeglang Banten. Saat itu ada acara keluarga besar isteri saya. Kami datang sekaligus memperkenalkan diri pada keluarga besar. Selama pertemuan ini, megathrust sering diucapkan. Funfact-nya, tempat pertemuan kami ini juga adalah lokasi yang kena dampak tsunami 2018 silam. Bahkan fasilitas di pantai ini pun, seperti toilet, belum pulih akibat sapuan tsunami. Bahkan tanggal 26 kemarin pun sirine peringatan dini tsunami juga dibunyikan, sebagai bagian dari mitigasi bencana rutin tiap bulan pas ditanggal 26. Kenapa tiap tanggal 26, clue-nya tsunami Aceh.
Kembali lagi soal megathrust. Memang sedang hangat diperbincangkan. Selama 3 hari 2 malam di Pandeglang, khususnya wilayah yang dekat dengan samudera Hindia, topik ini adalah topik yang tidak bisa ditinggalkan. Cerita-cerita sedih saat tsunami 2018 masih membekas. Seperti cerita masyhur seorang anak di labuan yang di suruh sama ibunya untuk meninggalkannya yang berbaring lumpuh dikamar agar sang anak selamat dari tsunami. Apalagi potensi tsunami dari megathrust-nya sampai 30 meter.
Kalo para ahli ditanya, kapan megathrust terjadi? Tidak ada yang bisa menjawab dengan tepat kapan itu akan terjadi. Juga titik di mana itu terjadi. Juga berapa magnitudo gempanya? Semuanya masih hipotesis. Hal yang paling bisa dilakukan adalah edukasi dan mitigasi bencana.
Ada hal menarik yang diucapkan oleh orang paling tua di pertemuan tersebut. Nasihat dari yang paling dituakan dikeluarga istri saya. “Gempa megathrust kita tidak tahu kapan, namun kematian itu pasti!”

Ketemu atau tidak ketemu dengan gempa megathrust, kita semua pasti akan mati. Apakah bekal kita sudah cukup untuk di akhirat. Apakah kita akan berkumpul kembali dengan keluarga kita di kehidupan yang akan datang?

Categories: Jurnal