Cheguide, apakah anda pernah mendengar nama ini? Nama Cheguide muncul dari catatan Tome Pires, seorang penjelajah dari portugis. Tome Pires dalam Magnum Opus nya Suma Oriental, menyebutkan bahwa Cheguide adalah salah satu nama pelabuhan pada abad ke 15 milik kerajaan Sunda. Dalam bukunya tersebut, Pires menyebut keenam pelabuhan kerajaan Sunda secara beruntun dari barat ke timur: Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano.
Sama dengan Tom Pires, sejarahwan Portugis lainnya yaitu Joao De Barros dalam buku Da Asia juga menyebut Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam. Hal yang membedakan dengan Tome Pires, Barros menyebut keenam pelabuhan tersebut secara beuntun dari arah Timur ke Barat
Dalam Suma Oriental Cheguide dideskripsikan sebagai pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain. Barang-barang dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan.
Di mana lokasi Cheguide atau yang disebut juga dengan sebutan lain, yaitu Cidigy? menurut buku pedoman pelayaran (roteiro) bangsa Portugis sekitar tahun 1528 dapat ditentukan Cheguide terletak di antara Pontang dan Tangerang. Tepatnya antara Tanjung Kait dan Muara Cisadane. Claude Guillot dalam bukunya Banten: Sejarah dan Peradaban abad XXVII berpendapat bahwa lokasi Chiguede berada di Muara kali Kramat Kecamatan Pakuhaji Kabupaten Tangerang. Pendapat Guillot ini diperkuat oleh Nanang Saptono dari Balai Arkeologi Jawa Barat yang menyatakan bahwa lokasi Pelabuhan pada masa lalu itu berada di situs keramat Desa Sukawali kecamatan Pakuhaji Kabupaten Tangerang.
 

Peta Situs Kramat

Penelitian arkeologis di kawasan itu berhasil mengidentifikasi tiga situs yaitu situs Rawakidang, Sugri, dan Kramat. Nanang Saptono dalam tulisannya di buku Dinamika Budaya Asia Tenggara – Pasifik Dalam Perjalanan Sejarah terbitan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, mencatat bahwa Situs Kramat yang mempunyai keragaman paling tinggi menunjukkan sebagai pusat pemukiman, sedangkan situs Rawakidang dan Sugri sebagai pemukiman yang lebih kecil. Adanya fragmen kapal di situs Kramat memberikan arah dugaan kuat sebagai kota pelabuhan.
 

Fragmen Kapal di SItus Kramat

Dalam tulisan tersebut Nanang Saptono juga berkesimpulan bahwa pada sekitar abad XVII, situs Kramat mengalami masa keemasan. Kajian sejarah menyimpulkan bahwa Chigeude sebagai pelabuhan penting berlangsung pada abad XVII pula. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa situs Kramat adalah bekas kota pelabuhan Chigeude
Pelabuhan Cituis, Aktivitas Pelabuhan Saat ini
Tidak jauh dari lokasi situs keramat, saat ini masih ada aktivitas maritim yaitu di Pelabuhan Cituis atau masyarakat sekitar lebih akrab dengan sebutan Rawasaban. Komplek Pelabuhan cituis terdiri dari pelabuhan pelelangan ikan dan pelabuhan penyeberangan.
Sebagai Pelabuhan Pelelangan Ikan banyak nelayan yang beraktivitas bongkar-muat hasil tangkapannya di sini. Untuk kemudian dilelang seperti umumnya pelelangan ikan di tempat lain. Pelabuhan Pelelangan Ikan (PPI) Cituis merupakan salah satu dari 7 PPI di Kabupaten Tangerang yang dapat memberikan kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) tertinggi.
Pelabuhan Cituis juga pelabuhan penting dan menjadi denyut nadi dari roda kehidupan ekonomi warga Kepulauan Seribu. Pelabuhan ini adalah tempat bersandarnya kapal nelayan dan tempat bongkar muat barang ke kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Meski kapal yang melayani penyeberangan adalah jenis kapal motor dari Kayu, namun jarak tempuh yang lebih cepat dibandingkan dari muara Angke, menjadikan pelabuhan Cituis akses utama masuknya barang-barang ke kepulauan Seribu. Berbagai barang mulai dari gas, solar, sembako, furniture, Motor roda dua dan tiga, sampai bahan-bahan bangunan di muat dari pelabuhan ini.
Hampir setiap hari hilir mudik kendaraan barang yang bongkar muat terjadi di dermaga pelabuhan Cituis. Jika dahulu orang-orang dari kepulauan Seribu ikut ke darat dan belanja di pasar Sepatan, kini orang-orang kepulauan seribu seperti penduduk Pulau Panggang, Tidung, dan Pramuka tidak lagi ikut ke darat. Kebanyakan mereka menggunakan jasa ojek atau ekspedisi untuk aktivitas jual beli, dimana uang belanja dan ojeg sudah dititip ke nakhoda kapal motor yang mengangkut barang-barang milik warga kepulauan Seribu tersebut.


Pelabuhan Cituis merupakan salah satu pelabuhan paling ruwet di Kabupaten Tangerang. Aktivitas berlabuh dan bongkar muat nelayan serta bongkar muat kapal barang dan penumpang ke kepulauan Seribu, membuat pelabuhan cituis jadi semrawut. Kemacetan di dermaga dan adu badan kapal adalah pemandangan sehari-hari di Cituis. Selain pendangkalan muara yang membuat Cituis semakin semrawut. Bagi Nelayan  mengakibatkan terhambatnya aktivitas di PPI Cituis khususnya pendaratan kapal dan pembongkaran hasil tangkapan. Begitu juga kapal motor barang dan penumpang dari dan menuju Kepulauan Seribu, harus menunggu air pasang dulu baru bisa masuk dermaga dan pergi meninggalkan dermaga Cituis, jika tidak ingin karam karena sedimentasi parah.
Separah apapun kondisi tersebut, aktivitas pelabuhan Cituis menandakan bahwa aktivitas maritim di pantai Tangerang masih hidup, dan belum akan mati!
Categories: Opini

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *