Sebenarnya aku kesal melihat Mang Ucin. Sudah tiga bulan ini ia terus menggodaku, setiap kali bertemu dengannya, ia selalu menanyakan rencanaku selepas lulus SMA.

Rencana setelah lulus SMA. Itu yang tak pernah bisa aku bayangkan. Terlalu abstrak untuk direncanakan. Karena aku sendiri tidak tahu apa yang akan aku lakukan setelah lulus dari masa SMA.

Kuliah. Aku tak pernah punya pikiran untuk memikirkannya. Aku tak punya uang untuk biayanya yang selangit itu. Sedangkan kerja, aku tak tahu harus kerja apa. Masak harus jadi petani seperti orang tuaku. Emak pasti kecewa karena aku berpendidikan lebih tinggi darinya. Emak pasti tidak mau kalau akau jadi petani. Seperti kata Emak, “Biar Emak saja yang jadi petani. Kau harus sekolah biar pintar supaya dapat kerjaan. Supaya hidupmu tidak susah kayak Emak.”

Aku bingung. Memang ada orang yang menawarkan kerjaan padaku. Yaitu, Mang Ucin. Hanya saja, ia menawarkan supaya aku jadi TKI. Nah, disinilah masalahnya. Kalau aku jadi TKI, berarti aku harus meninggalkan Emak sendirian di kampung ini. Itu yang berat bagiku. Jujur saja aku tak sanggup membayangkan Emak yang mulai senja harus aku tinggalkan sendirian.

Kalau bisa aku ingin kerja di daerahku saja. Tapi mungkin itu hanya sebuah impian saja. Banyak orang – orang kampungku yang bekerja sebagai TKI karena sedikitnya lapangan kerja yang tersedia di sini.

Aku jadi pusing memikirkannya.

***

Hari ini hari kelulusanku. Aku bahagia dinyatakan lulus dari SMA. Tapi aku tidak bahagia amat sih. Karena ada tiga temanku yang dinyatakan tidak lulus.

Aku ingin cepat pulang ke rumah. Aku ingin menunjukkan pada Emak kalau anaknya telah lulus SMA. Aku ingin membahagiakannya dengan kelulusan ini. Kalau hasil belajarku tidak sia – sia begitu juga dengan pengorbanan Emak mencarikan uang untuk biaya sekolahku.

Kaget juga aku ketika sampai di depan rumah. Aku melihat Mang Ucin keluar dari rumahku. ‘Makelar’ TKI yang satu ini benar – benar tak pernah putus asa untuk membujuk agar aku mau jadi TKI. Sepertinya ia baru saja membujuk Emakku.

Setelah mengulurkan salam, aku masuk ke rumah dan mencium tangan Emak. Aku menceritakan pada Emak kalau aku telah lulus dari SMA. Emak kelihatan senang sekali mendengar ceritaku. Tapi, suasana jadi lain ketika Emak bertanya padaku.

“Mawar, kamu sudah memikirkan untuk kerja di mana?”

“Belum Mak.” Jawabku polos.

“Tadi Mang Ucin kemari. Dia menawarkan kerjaan buat kamu .”

“Jadi TKI?” Potongku

“Iya. Dia bilang ada kerjaan yang cocok buatmu di Malaysia.”

“Kerjaan apa Mak?”

“Entahlah. Mak susah untuk menyebutnya. Tapi kerjanya di café. Gajinya besar. Kamu mau enggak?” Tanya Emak yang membuatku bingung untuk menjawabnya.

“Ee..Gimana yah. Sebenarnya Mawar mau aja kerja di sana. Tapi, kalau jadi TKI di Malaysia Mawar takut.”

“Takut kenapa?”

“Mawar takut ninggalin Emak sendirian di sini. Emak pasti kesepian kalau Mawar enggak ada di sini.”

Emak tersenyum haru. Ia menatap wajahku lekat. “Mawar enggak usah takut. Emak bisa hidup sendiri di sini. Emak bisa jaga diri emak. Bisa cari duit sendiri. Pokoknya kamu enggak usah khawatirin emak.”

Aku diam kehilangan kata.

“Kamu di sana kerja yang rajin. Cari duit sebanyaknya. Kau tabungkan semua uang itu. Enggak usah kirim duit ke sini buat emak. Itu untuk kamu semua. Untuk bekal usahamu nanti kalau kau sudah pulang dari Malaysia.” Lanjut Emak.

Aku tergugu mendengar kata – kata emak. Wanita yang hatinya terbuat dari seribu kuntum bunga di musim semi itu membuatku haru. Aku ingin menangis namun air mataku tak sanggup untuk keluar. Hanya hatiku yang basah.

***

Emak melepas kepergianku dengan haru. Aku ingin menemaninya tapi aku harus pergi. Mobil yang membawaku berjalan meninggalkan emak. Meninggalkan kampung halamanku. Kemudian sampai di pelabuhan Tanjung Priok.

Di Malaysia, aku diasramakan di sebuah rumah. Di sana juga ada sekitar lima belas orang sepertiku. Rencananya malam ini aku sudah mulai kerja. Majikanku bilang kalau kami akan bekerja sebagai pelayan bar. Bukan café seperti yang dikatakan Mang Ucin.

Aku kaget ketika majikanku memberikan pakaian kerjaku. Pakaian yang menurutku kemasannya sangat jelek sekali, terbuka di sana – sini. Bajunya ketat dengan rok diatas paha, sangat mini. Aku jadi bingung sebenarnya pekerjaanku apa di sini.

Setelah berdandan, majikanku menyuruhku dan beberapa wanita lainnya masuk dalam mobil. Di dalam mobil majikanku bilang kalau kerjaan kami adalah melayani pengunjung bar.

Sampai di sana aku baru tahu maksud melayani pengunjung bar adalah melayani para lelaki hidung belang yang mengunjungi bar itu. Pekerjaanku di sana ternyata adalah menjadi wanita penghibur yang lebih tepat disebut pekerja seks komersial. Pelacur.

Aku mengadukan ini pada majikanku. Majikanku malah menyiksa dan mengancam akan membunuhku bila buka mulut. Aku jadi semakin tak berdaya selain pasrah menerima kenyataan buruk ini.

Di sana aku mulai kenal dengan Dian. Dian adalah teman satu kamarku. Dia berasal dari Sumedang. Dia sudah dua tahun kerja di sini. Dari dia aku tahu kalau kami adalah korban human trafficking. Korban penjualan manusia.

Kami adalah korban penjualan manusia dari sindikat internasional. Aku baru tahu kalau modus yang mereka gunakan adalah membujuk gadis – gadis desa untuk menjadi TKI dengan iming – iming gaji yang besar. Setelah terbujuk kemudian mereka dijual kepada para mucikari yang ada di Malaysia, Thailand, dan Filipina. Kebanyakkan korbannya adalah gadis desa yang masih berumur belia. Termasuk aku korbannya.

Dan naasnya bagiku. Aku jadi primadona di bar itu. Aku dipaksa melayani para lelaki hidung belang yang menjadi pelangganku.

Memang uangnya banyak. Tapi, bau daging busuk para penzina itu telah menjalar ke tubuhku. Aku tak ubahnya jadi manusia yang paling ternoda. Tak punya harga diri dan martabat. Apa yang harus aku katakan pada emak, kalau ia bertanya tentang pekerjaanku di sini?

***

Dari waktu ke waktu pekangganku semakin banyak. Aku semakin terkenal sebagai primadona. Sejalan dengan itu aku semakin hampa. Diriku semakin tak bernilai. Aku jadi semakin tak berguna hidup di dunia ini.

Sampai pada suatu malam. Aku mendapatkan seorang pelanggan baru. Yang memintaku datAng ke sebuah hotel. Tadinya aku menganggap dia sama seperti lelaki lain yang hanya ingin menghisap maduku saja. Ternyata ia berbeda. Ia bukan ingin menjajah tubuhku. Tapi dia ingin membebaskanku dan teman – temanku yang menjadi korban human trafficking.

Tadinya aku ragu akan niatnya. Kemudian dia menunjukkan identitasnya. Ternyata dia seorang wartawan yang sedang melakukan investigasi tentang maraknya human trafficking. Dia menjadikan aku sebagai sumber informasinya dengan tetap merahasiakan jati diriku.

Berkat dia aku terbebas dari jeratan lingkaran setan. Berkat ia juga teman – temanku yang terjerat lingkaran setan jaringan itu terbebas dari lembah pelacuran. Hasil investigasinya berhasil menguak tabir kejahatan sindikat human trafficking. Jaringan penjual manusia itu akhirnya dibekuk oleh polisi. Banyak dari mereka yang dimasukkan ke dalam penjara. Termasuk mucikari tempatku melacur dulu.

Setelah terbebas, aku ingin langsung pulang ke Indonesia. Pulang untuk menumpahkan kerinduanku pada emak. Tapi, wartawan yang telah menolongku itu menyarankan agar aku periksa darah. Entah apa maunya? Tapi aku menyetujui usulan itu.

***

Langit Kuala Lumpur berawan redup. Dedaunan menari tertiup angin. Aku lesu melihat itu semua. Apa yang harus aku katakan pada emak tentang keadaanku. Aku tak sanggup melihat wajah emak, jikalau wanita yang hatinya terbuat dari seribu kuntum bunga di musim semi itu mengetahui keadaanku yang sebenarnya.

Aku membaca kembali kertas yang ada digenggaman tanganku. Langit seolah runtuh menghujam tubuhku yang telah remuk tak bernilai. Apa yang harus aku katakan pada emak? Sedangkan surat dokter itu menuliskan vonis yang berat bagiku, aku positif HIV/AIDS■

Pucuk Khatulistiwa, 2004.2007

Categories: Cerpen

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *