Aku tak sanggup lagi mengejarnya. Ia telah terbang tinggi
dan pergi menjauh. Sedangkan aku tertinggal di sini menahan luka. Meradang
menahan sakit akibat luka yang ia pahat sebelum tinggalkanku.
Ah, andai saja tubuhku tak luka. Andai saja sayapku tak
patah. Andai saja sayapku dapat mengepak kuat. Aku akan terbang lagi
mengejarnya, kemana pun ia pergi!
Namun, itu sepertinya hanyalah angan kosongku saja. Angan
makhluk yang tak lagi punya daya dan kuasa. Selain berharap khayalan itu jadi nyata.
Aku tak tahu kenapa ia pergi meninggalkanku. Sungguh aku tak
tahu kenapa? Aku pun bingung dibuatnya. Ia pergi meninggalkanku di saat kuncup
– kuncup bunga hatiku siap mekar dengan segala keindahan dan keharuman cintaku
padanya. Ia pergi di saat asmaraku bertahta di atas singgasana cinta. ia pergi
di saat aku masih sayang dan membutuhkannya. Menorehkan sebuah luka di hati
terdalam.
Rasa cinta dan sayangku sangat besar padanya. Rasa itu tak
pernah padam, apalagi mati. Aku pun memutuskan untuk mencarinya. Berkelana
mencari cintaku yang telah hilang. Mengepakkan sayap menjelajahi angkasa raya.
Sampai sayap sebelah kananku patah. Dan aku terdampar di sini.
Aku telah menjelajahi dirgantara. Menembus awan, menghalau
terik matahari, menerjang hujan dan badai. Aku mencarinya hingga sayap sebelah
kananku patah. Aku mencarinya hingga aku terdampar di sini, di pulau kecil yang
tumbuh sendiri di tengah luasnya samudera. Aku terdampar dalam sunyi mencarinya
di pulau terasing dan sepi. Dalam kesunyian, aku tercelup seorang diri.
Aku mencoba bertahan dalam sunyi. Berjalan menapaki hari
esok yang suram. Semua karena cinta. membuatku masih bisa berdiri, walaupun
terhuyun menyangga raga.
Matahari terus bersinar riang. Cahayanya coba terangi sudut
jiwaku yang gelap. Kulihat awan – awan menggantung di langit biru. Awan – awan
itu berkumpul laksana mozaik – mozaik alam melukis sketsa wajah bidadariku yang
telah pergi di lizuardi tanpa kaki. Aku pun jadi ingin bertemu dengannya.
Bertanya, berbincang, berdua kembali seperti dulu, bersama berenda kasih dalam
ikatan halus benang cinta. Dalam sunyi, aku terpenjara rinduk tak bertepi.
Aku tak tahu mengapa harus begini. Sungguh aku tak tahu!
Rasa ini begitu perih. Hatiku sakit dengan luka tak terperi.
Hilang satu yang terindah dalam hidupku. Membuatku luluh
lantak berserak tak tegak. Seperti tercabut separuh jiwa. Sungguh menyakitkan!
Sangat menyakitkan dengan luka tak terperi, terus membesar dan berbekas. Masih
sanggupkah aku bertahan? Pertahankan cinta ini.
Hari esok seperti bola lampu lima watt, bercahaya redup
merah padam. Aku menunggu yang tak pasti di pulau asing ini. Mungkinkah ini
tempat terakhirku menginjakkan kaki? Jangan sampai! Ini terlalu pedih.
Aku tak pernah membayangkan akan seperti ini. Mengalami
ujian terberat dalam hidupku, ujian yang sedang aku alami. Seperti vonis mati
yang dieksekusi dengan pelan – pelan, menyicil rasa sakit yang sangat pedih
sampai ajal datang menjemput.
Mengapa aku harus menanggung ini semua? Bukankah cinta itu
indah? Mengapa bunga – bunga cinta itu kini harus menjelma jadi pohon – pohon
kaktus berduri tajam yang mengganjal hatiku? Mengapa?!
Bumi tak menjawab. Langit tak menjawab. Pepohonan bungkam.
Semua diam membisu. Hanyalah desir angin yang kudengar pelan berhembus menuntun
langkahku.
Dengan tertatih aku melangkahkan kami. Berjalan ke mana kaki
ini membawaku pergi. Kutahan semua rasa sakit. Terus berjalan mencari kehidupan
di sini. Aku tak ingin berputus asa. Aku tak mau mati di sini sendiri. Aku
yakin di sini ada kehidupan. Walaupun, sudah satu minggu aku menjelajahi pulau
ini, dan tak menemukan makhluk apapun, selain lebatnya pohon – pohon yang
menyusun rindangnya hutan belantara.
Lukaku semakin parah. Darah – darah segar menetes keluar
dari sayapku yang patah. Aku tak kuat lagi berjalan. Rasa ini terlalu sakit.
Kakiku pun lecet dan lebam. Di bawah pohon rindang dekat bibir pantai aku
memilih istirahat.
Kepalaku pusing tujuh keliling. Pandanganku kabur. Samar
kulihat corak alam yang terhampar di hadapan, buram hitam putih.
Aku mengedarkan pandanganku yang buram ke segala penjuru.
Tak sengaja ekor mataku menangkap sosok aneh di tengah laut.
Aku bangkit berdiri. Aneh, kepalaku tak lagi pening.
Pandanganku kembali normal. Kali ini dengan jelas aku dapat melihat makhluk
itu. Seperti kucing. Ya, anak kucing yang tercebur meronta – ronta,
mencoba untuk selamatkan diri.
Lalu, aku melihat seekor anjing kintamani hitam keluar dari
hutan dan berlari kencang kearah laut. Anjing itu berenang menyelamatkan anak
kucing yang hampir tenggelam.
Ini sungguh aneh, tapi ini nyata. Aku menyaksikan seekor
anjing menyelamatkan anak kucing. Bukankah anjing sama kucing itu musuh
bebuyutan?
Dengan perasaan heran aku mendekati mereka. Merekalah yang
selama ini aku cari, makhluk hidup penghuni pulau asing ini selain pohon.
Anjing itu menjemput kedatanganku dengan tatapan tajam. Aku
seperti dilumatnya mentah – mentah.
“Kenapa? Kau heran melihatku melakukan ini semua?!” Kata
anjing itu terdengar jelas di telingaku. Aku kaget tak kepalang. Anjing itu
bisa bahasa manusia. Lidahku kelu untuk berkata. Aku masih kaget. Aku tak bisa
menjawabnya.
“Aku tahu, kau pasti kaget melihatku melakukan ini semua,
dan aku bisa bicara dengan bahasamu?” Tanyanya menohokku.
Lidahku masih terasa kelu. Aku masih tak bisa bersuara.
Dengan mengangguk aku menjawabnya.
“Aku adalah penjaga pulau ini. Aku wajib melindungi semua
makhluk yang ada di pulau ini dengan penuh cinta.”
“Tapi, bukankah kucing itu adalah musuh abadimu?” suaraku
keluar melontarkan pertanyaan.
Anjing itu tersenyum. “Itulah cinta. ia tak pernah melihat
siapa yang ia berikan kasih. Dan ia tak pernah berharap menerima, hanya memberi
dengan sepenuh jiwa.”
“Cinta?” Ucapku tak mengerti.
“Hai, orang asing. Ketahuilah, siapa yang hidup bagi dirinya
sendiri, ia akan hidup sebagai manusia kecil dan mati sebagai orang kecil.
Tapi, siapa yang hidup bagi orang lain, ia hidup sebagai manusia besar dan
takkan mati selamanya. Kau hanya manusia kecil yang cinta hanya pada dirimu
saja.” Ujarnya.
“Tidak!!! Aku mencintai bidadariku sepenuh hati. Aku mengejarnya
hingga aku terdampar di sini.” Tukasku membantahnya.
“Itulah bukti kalau kau hanya cinta pada dirimu sendiri. Kau
begitu sakit ditinggal pergi pasanganmu sampai kau tak peduli pada orang –
orang di sampingmu. Kau tak peduli pada orang – orang yang telah memberikan
cintanya sepenuh hati untukmu. Hingga kau terdampar di sini, terpenjara dalam
sunyi dan kerinduan teramat dalam yang kau buat sendiri dalam pikiranmu.”
Jawabnya.
“Apa?!!”
“Iya. Tempat ini adalah penjara bagi orang – orang
sepertimu. Kau akan terpenjara di sini sampai kau bisa keluar dari
kematian perasaanmu, sampai kau bisa merasakan hadirnya cinta di sekelilingmu,
sampai kau bisa mempersembahkan cinta pada semua makhluk di muka bumi ini,
tanpa ada harap menerima.” Kata Anjing itu sambil berlalu pergi meninggalkanku.
Persendianku terasa lemas. Tubuhku amblas jatuh ke pantai
berpasir putih. Apa maksudnya ini?
“Kau tidak hidup untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk orang
lain yang ada di sekitarmu. Coba lihat dirimu! Memenjarakan diri dengan tak
mendengarkan apa isi hati orang – orang yang ada di sekitarmu!” Kucing yang
tadi diselamatkan anjing kintamani itu mengeluarkan suaranya, berujar.
Aku tertunduk mendengarnya. Aku sudah bisa menerima
kenyataan ini. Benar, aku tak hidup untuk diriku saja, tapi juga untuk orang
lain. Benar aku telah begitu sakit hati ditinggal pergi bidadariku.
Tapi, aku ingin jadi orang kerdil. Aku tak mau terus berada
di penjara ini. Aku harus bangkit. Harus!!!
Langit biru begitu bersih terhampar. Aku harus kembali ke
dunia nyata. Harus! Aku akan belajar mempersembahkan cinta setulus hati, tanpa
ada harap menerima. Sambil mengobati sayap patah cintaku. Aku akan kembali
terbang ke duniaku. Aku akan kembali!
0 Comments