Salam ukhuwah semoga jalinan persaudaraan ini semakin erat berpadu. Semoga limpahan nikmat-Nya yang tak terhingga dan tak terputus terus mengaliri tiap hembusan nafasmu. Menjaga dan menyelamatkan dari keburukan. Dan menghujamkan ketenangan dan ketentraman di batin yang terdalam. Sungguh, dengan kenikmatan yang tak terhingga itu semakin mengokohkan iman kita untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.

Bagaimana keadaanmu, De? Semoga sebaik seperti harapanku dalam bait – bait do’a yang kulantunkan untukmu.

Keadaanku adalah bagaimana keadaan orang yang Tuhannya memintanya untuk melakukan kewajiban, Nabinya memintanya untuk melakukan sunah, Malaikat memintanya untuk memperbaiki prilaku, Jiwanya memintanya untuk memenuhi keinginannya, Iblis memintanya untuk melakukan kekejian, Orang – orang disekelilingnya memintanya untuk menolong, dan Malaikat maut ingin mencabut nyawanya.

Ade,

Kutuliskan surat ini untukmu. Saat hangat angin laut menyapa daratan. Saat mentari mulai beranjak naik di ufuk timur. Mengusir gelap di pesisir barat pulau seberang. Ketika lantunan takbir membahana dari bibir – bibir kering dan pecah – pecah.

Mungkin kau heran aku menuliskan ‘pesisir barat pulau seberang’. Aku sekarang memang ada di seberang pulau Jawa, pulau di mana kini kau berada. Terpisah jarak darimu yang membentang lautan biru. Aku sekarang ada di Sumatera. Tepatnya di Bengkulu. Kau mungkin akan semakin heran, ngapain ada di sana ? Aku menjadi relawan di sana .

Kau tahu kan ! di sana awal Ramadhan ini terjadi gempabumi. Bencana yang melanda daratan Sumatera. Musibah yang meminta korban jiwa dan harta benda. Meratakan bangunan – bangunan kotak yang terususun dari bata. Semua luluh dilantakkan gempabumi. Menyisakan kedukaan dan kesedihan cuma. Hingga saat ini, masih terasa.

Ade,

Aku jadi ingat saat pertama kali jadi relawan dulu. Saat itu muntaber mewabah di kecamatanmu. Empat tahun silam. Aku jadi ingat, waktu itu aku harus meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk membantu saudara – saudara kita itu. Melatih kesabaran saat berhadapan langsung dengan masyarakat. Terjun di masyarakat umum. Untuk mencurahkan apa yang bisa aku persembahkan buat mereka.

Masih ingat kah kau, saat kejadian di salah satu tempat bakti sosial dulu? Saat rasa lelah dan letih begitu menghinggapi tubuhku yang lemah kurang istirahat dan emosiku begitu labil, hingga aku meluapkan kemarahanku?

Kau datang padaku dengan dengan penuh keteduhan dan kesabaran. Dengan bijaksana dan sabar kau menenangkanku, “Akhi, sabar. Sabar yah, tahan emosi.” Dan aku tersadar. Aku hanya bisa menyesali apa yang telah aku lakukan. Merenungkan apa yang telah aku perbuat di musholla kampung itu.

Dan kau datang kembali padaku yang merenungkan apa yang telah terjadi. Kau datang dengan membawa motivasi. Aku masih ingat kata – kata mu dulu. “Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Tapi, sebaik – baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah melakukan introsfeksi dan tidak akan mengulangi kesalahannya itu lagi. Ayo bangkit lagi!”

Ade sayang,

Aku pergi pada malam hari setelah di siang harinya kita berjumpa. Setelah kita berjumpa kembali dimana sekian lama telah terhenti jeda. Kau mungkin bingung. Kenapa aku tak memberitahukanmu jikalau aku akan pergi semakin jauh darimu? Pergi ke daerah bencana pula?

Memang sengaja aku tidak memberitahukanmu saat itu. Aku tahu pasti kau akan mengingatkanku tentang penyakit yang kuderita. Keadaan tubuhku yang lemah. Dan aku tahu pasti, akhirnya kau akan melarangku untuk pergi!

Dulu aku sempat membuatmu megap – megap. Membuatmu gundah, resah dan gelisah. Kejadian di bawah hujan empat tahun silam. Saat aku berlari menggendong seorang anak kecil yang sedang kritis dengan dehidrasi parah ke balai pengobatan. Aku tak memperdulikan apa yang terjadi. Tak memperdulikan keadaan sekelilingku dan keadaan tubuhku sendiri. Saat itu, aku hanya bisa berpikir bagaimana menyelamatkan anak itu. Dan alhamdulillah anak itu selamat dari maut yang mengintai.

Kau datang menghampiriku yang sedang jongkok dengan nafas terengah – engah dan badan basah kuyup. Kau datang padaku dengan wajah muram dan mata merah berkaca. Aku masih ingat pertanyaanmu dengan nada sedih, tapi hanya aku balas dengan senyuman. “Akhi, jantungmu?”

Ade yang bijaksana,

Semua orang di dalam hatinya pasti ada ingin untuk berbuat baik. Dulu kita pernah mendapati satu kumpulan anak metal yang datang ke posko kita. Mereka juga ingin membatu warga yang sedang dilanda musibah dengan lantunan musik yang mereka bawakan. Bukankah kita harus menolong dengan apa yang bisa kita perbuat? Semua itu untuk menghibur dan membesarkan hati mereka, bahwa mereka tidak sendiri menghadapi musibah, tapi masih ada saudara – saudaranya yang peduli.

Nostalgia membuat kenangan masa lalu begitu indah untuk dilupakan. Ada penggalan – penggalan kisah yang membuat kita selalu terkenang. Walaupun ada orang bijak yang mengatakan kalau mengenang keindahan adalah keterpurukan. Tapi, kenangan memang sulit untuk terhapus dari memori. Hingga membuat kita ingin kembali ke masa itu. Bersama kembali seperti dulu.

Namun Adeku sayang,

Suara rintihan dari jiwa – jiwa yang merintih telah menarik perhatianku. Wajah – wajah polos nan lugu yang terenggut nestapa lebih membuatku tertarik untuk menghiburnya. Suara tangisan dari wajah – wajah yang sedih telah membuatku tergoda untuk menghapusnya. Merengkuh hati dan jiwaku untuk melangkahkan kaki ke sana .

Kau tahukan! Saat usiaku baru menginjak tujuh tahun, bapakku sudah dipanggil oleh-Nya. Membuatku harus menjadi anak yatim piatu di usia yang sangat kecil. Posisiku itu membuatku begitu mudah untuk merasakan penderitaan anak – anak kecil yang ditinggal orang tuanya. Karena aku juga pernah mengalaminya. Dan aku berharap cukup hanya aku yang pernah merasakan kegetiran itu. Aku tak mau anak – anak kecil, mungil, lucu, polos, dan lugu itu kehilangan kebahagiaan masa kanak – kanaknya yang seharusnya penuh keceriaan. Kalau bisa cukup hanya aku.

Semenjak kepergian bapak, aku diasuh oleh kakek yang usianya semakin senja. Aku harus memenuhi kebutuhan hidup kami. Di usia yang sangat muda aku sudah banting tulang membantu kakek di pasar. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur pada Allah yang telah melapangkan segala kesempitan itu. Aku dapat bersekolah dengan tenang berkat beasiswa yang kudapat dari SD hingga SMA. Walau pun hidup kami pas – pasan. Dan tiga tahun lalu, kakek pun harus pergi dari sampingku menyusul kedua orang tuaku. Dari pengalaman hidup yang seperti itulah aku begitu mudah merasakan penderitaan orang lain. Aku langsung terenyuh. Karena aku pun pernah mengalami itu. Di saat seperti itu aku pernah merasakan bagaimana aku sangat butuh pertolongan guna melapangkan kesempitan yang menjepit. Betapa penting dan berharganya pertolongan dari orang lain.

Ya, aku sekarang mencoba menghibur mereka. Aku mencoba membantu mereka dengan apa yang bisa aku perbuat. Mencoba menghapuskan duka dari wajah polos dan lugu. Aku menyediakan pundakku untuk bersandar mereka. Aku menyiapkan tanganku untuk mengais bongkahan batu. Aku menyediakan hatiku untuk mereka keluarkan rasa di dada. Aku menyedekahkan waktuku untuk bersama mereka. Bersama disaat duka.

Aku tak ingin mereka sedih dan memaki saudaranya sendiri. Memaki dan memanggil – manggil saudaranya yang telah menutup telinganya untuk sekedar mendengar derita yang sedang mereka rasakan. Aku tak ingin itu. Karena aku sudah ada bersama mereka. Bersama menyelami hari – hari yang suram.

Aku jadi ingat dengan kata – katamu yang kau nukil dari sebuah lagu; Tebar pandang mendunia tataplah. Saudaramu menanti di sana . Dunia islam menantikan dirimu. Untuk berbuat sejauh langkah kau mampu. Menyatulah dalam rasa suka duka. Beriring hati seia dan sekata. Tepis rasa tiada daya. Wujudkan asa untuk saudaramu di sana .

Dan aku menjadi sadar, bahwa Islam itu memang agama kasih sayang. Agama cinta. Agama yang bisa menyatukan manusia di dunia dengan ajaran kasihnya. Dengan Islam manusia bersayangan, walau kulitnya berlainan. Dengan Islam manusia bertolongan, walau jaraknya berjauhan. Karena Islam adalah rahmat bagi semesta alam.

Oh iya, Ade,

Bagaimana ramadhanmu di sana ? Di sini aku merasakan pengalaman lain saat ramadhan. Berpuasa dengan kesederhanaan. Terkadang aku masih dikagetkan dengan histeris massa . Apalagi kalau ada gempa susulan. Kepanikan begitu mudah menyulut jiwa untuk depresi. Yah, depresi yang tampak jelas terlihat di wajah para pengungsi tiap kali ada gempa. Apalagi diperburuk dengan kabar burung tsunami. Kacau.

Tapi, di sinilah aku belajar ketenangan dan kepasrahan pada takdir Allah yang Perkasa. Menggali ilmu Allah yang sangat luas lewat ayat – ayat kauniyah. Aku belajar menguasai emosi. Mencoba untuk tenang kemudian menenangkan orang lain. Alhamdulillah, Allah sayang padaku, Dia tak mengambuhkan penyakit jantungku. Hingga aku masih bisa menapaki hari – hari di sini.

Ade,

Ramadhan kali ini masihkah kau mengajar? Mengisi materi atau jadi mentor di pesantren kilat yang biasa kau dan teman – teman adakan? Aku mengisi hari – hari ramadhan tahun ini dengan menjadi relawan. Tiap pagi mengais sisa – sisa bangunan yang masih bisa digunakan. Selepas dzuhur ngisi games dan cerita untuk anak – anak. Tiap sore sampai jam lima ngajar ngaji. Setelah ngajar ngaji nyiapin makanan buat buka. Makan dengan menu yang sangat sederhana.

Bagaimana malam – malam ramadhanmu? Di sini, aku melewati malam – malam ramadhan bersama dingin yang terasa menusuk tulang. Tarawih di masjid darurat yang bertiang bambu dan berdinding terpal. Dengan kerdip lampu tempel yang bercahaya redup sebagai sinarnya. Namun, itu tak mengurangi kekusyukan dalam beribadah. insyaAllah.

Adeku sayang,

Tadi malam aku bisa mendengar suara hangat dan semangat milikmu melantunkan takbir. Penuh kebahagiaan walau samar kudengar lantunannya. Bagaimana takbiran di sana ? Meriah dengan kembang api dan pawai keliling kota ? Atau dengan seabreg acara gebyar lainnya?

Adeku sayang yang pengertian dan halus rasa,

Tiap malam takbiran selalu memunculkan kedukaan dalam batinku. Aku menangis di tengah pekikkan kebahagian yang dilantunkan orang – orang. Aku merintih di saat orang – orang pawai keliling kota . Air mataku mengalir semakin deras di saat orang – orang menembakkan semerbak kembang api ke angkasa. Aku…

Lebaran selalu membuatku sedih dan merinding miris. Ya, aku selalu sedih tiap kali usai ramadhan.

Tiga tahun silam, kau menemukanku menangis di pojok mushollah sekolah. Saat itu aku menangis karena di saat kita menumpahkan kebahagiaan menyambut lebaran dengan takbiran keliling kota , di dataran bumi lainnya saudara kita dibantai tanpa kata – kata. Mereka dibantai di dalam masjid saat sedang takbiran. Masih ingatkah kau dengan tragedi Falujjah?

Dua tahun silam, saat selesai halal bi halal kau menanyakan kenapa mukaku murung. Saat itu aku sedih dengan kondisi saudara – saudara kita di Aceh. Masih ingatkah kau dengan isi pesan singkat yang dikirim pak Ozy dari Banda Aceh?

Tahun kamarin, masih segar dalam ingatan saat kita menyaksikan bersama tayangan televisi, bagaimana di satu daerah di negeri ini ada saudara kita yang shalat Id di atas tanggul penahan Lumpur. Tempat dulu mereka pernah tinggal yang kini digenangi lumpur. Di Jogja banyak saudara kita yang merayakan lebaran di bawah tenda. Sama sepertiku kini.

Nopember tahun lalu kau menanyakan kenapa mukaku merah dan mataku basah berkaca. Aku pun mengabarimu tentang peristiwa pembantaian di Beit Hanoun. Kembali kita dikabari tentang pembantaian usai ramadhan. Lebih tragisnya lagi, para muslimah yang dibantai di depan masjid. Kau tahukan! Ibuku meninggal setelah berjuang melahirkanku? Ibuku pergi saat aku baru keluar ke dunia. Beliau mengorbankan nyawanya untuk kelahiranku. Rasanya tragis yang sangat kurasakan saat mendengar kabar itu. Masih ingatkah pertemuan terakhir kita tahun lalu, saat munasharah Palestina?

Tahun ini, aku berlebaran di daerah bencana. Aku merasakan sendiri kesedihan yang sangat nyata. Jangan kau Tanya baju baru atau opor ayam dan ketupat. Tak ada! Yang ada hanya kesederhanaan.

Adeku yang bijaksana, tempat aku mencurahkan isi hati,

Yang membuat aku miris adalah hilangnya rasa peka kita. Padahal, rasa lapar dan haus yang kita rasakan saat puasa ramadhan seharusnya membuka hati kita untuk lebih peka akan penderitaan orang lain di sekitar kita. Bukankah kemenangan tak akan tercapai kecuali dengan kesungguhan dan pengorbanan? Sudahkah kita menang dari emosi dan hawa nafsu yang begitu memburu di penghujung ramadhan? Atau kita kalah tak berdaya menghadapi hawa nafsu untuk berbelanja, menuruti rasa ingin makan segala apa yang ada, atau menghamburkan duit dengan istilah rekreasi? Tak usah kau jawab. Biarlah hati nurani terdalam kita yang angkat suara.

Adeku tercinta,

Sekarang aku hanya hidup sebatang kara. Kaulah tempatku berbagi suka dan duka. Kaulah orang yang terdekat denganku, walaupun jarak fisik kita teramat jauh. Namun, hati kita telah berhimpun dalam eratnya ikatan ukhuwah. Aku tahu, aku teramat sangat banyak berbuat salah padamu. Tak terhitung kealpaan yang kulakukan dan membuatmu benci. Kini, maafkanlah aku yang dhoif ini. Minal aidin wal fa idzin.

Negeri yang Merintih, 2 Syawal 1428 H

Categories: Cerpen

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *