Aku harus menahan nafas sejenak saat akan memasuki
persidangan. Ah, persidangan kali ini sangat berbeda dengan beberapa
persidangan yang pernah aku jalani. Ada nuansa emosional yang mengaduk
perasaan.
Benar saja, saat aku memasuki ruang sidang, seorang
ibu muda histeris dan memaki-maki aku. Jelas kutangkap kemarahannya. Bahkan, ia
meneriakiku dengan sebutan bajingan.
Aku berusaha tidak memperhatikannya. Terus bejalan
ke muka hakim. Ekor mataku menangkap satu sosok bertumuh tambun yang duduk di
belakang meja berderet dengan pengacara, tepat di pinggir kanan meja hakim. Ia
menatapku tajam.
Sesudah pengambilan sumpah, aku alihkan pandangan
mata ke sosok tambun yang sedari tadi menatapku tajam. Tatapan kami bertemu.
Jelas ia sekali ia menatapku sangat tajam. Tatapannya bagaikan busur panah yang
siap menghujamku.
Ia adalah Dion Anggawijaya, sedangkan ibu muda yang
tadi meneriakiku adalah Lisa, istri Dion.
Aku sungguh mengenal mereka. Dion, sahabat karibku
sejak SMP. Kini kami berseberangan. Ah, semua ini bermula setahun lalu.
*
Sebagai kawan karib yang berteman sejak SMP aku dan
Rudi mengajak Dion untuk reunian tak resmi di Bogor. Ini kami lakukan karena
kami sudah lama tidak bertemu. Kami semua datang bersama keluarga. Aku sendiri
hanya mengendarai motor, sedangkan Rudi yang sukses dengan usahanya mengendarai
mobil, dan yang membuat kami tersentak adalah Dion yang datang menggunakan
mobil mewah.
Sehabis pulang dari reunian itu, pikiranku masih terngiang celotehan Rudi tadi siang saat kami terkaget dengan kendaraan teman lama kami, Dion.
“Pegawai biasa,tapi kaya raya kemungkinannya ada lima,yaitu mendapat warisan, menikah dengan orang kaya, menang undian, punya bisinis sampingan atau korupsi”
Kemungkinan
terakhir
yang
membuat
pikiranku
sibuk
menerka.
Aku tahu
Dion
sejak
kecil
hingga
SMA.
Sebagai
PNS juga
aku tahu
berapa
gajinya
Dion,
toh aku juga
PNS.
Punya
mobil
mewah
dengan
penghasilan
tetap
yang
tak seberapa
sangat
tidak
wajar.
“Dik, kamu liat tadi mobilnya Dion?”
“Iya, bagus yah. Kira-kira berapaan yah harganya?”
“Mercedes Benz S Class, di pasaran bisa 1,5 M tuh”
“1,5 M, milyar?” kata Istriku dengan mata terbelalak
“Aku curiga, Dik. Dapet dari mana ia uang buat ngebeli mobil semewah itu, toh si Rudi yang usahanya sukses aja belum tentu sanggup beli mobil semewah itu.” Analisaku atas mobil mewah Dion, mungkin pola
pikiranku yang tertana,m untuk curiga hasil didikan lembaga intelejen.
“Hush, jangan mikir yang enggak-enggak, siapa tahu ia baru aja dapet rejeki gede” potong Istriku.
“Rejeki kan kita tidak tahu datangnya kapan”
Pradugaku
pun luluh,
lima
tahun
tidak
bertemu,
meski tadi Dion tidak cerita asal usul mobil mewahnya, siapa
tahu
ia dapet
semacam hadiah atau undian.
Sungguh aku hampir melupakan mobil mewah Dion, tapi
satu minggu berselang dari kejadian di Bogor, istriku pulang dengan membawa
cerita yang memuatku semakin penasaran akan asal muasal harta Dion.
“Kak, tadi nemenin pindahan keluarganya Lisa. Gila
rumahnya megah banget”
“Ah, serius?”
“Serius, Syukurannya aja tadi meriah banget. Hebatnya
lagi rumahnya ada di kawasan elit. Kita masih aja di gubuk”
Aku cuma tersenyum kecut dengan kalimat terakhir
istriku. “Hah, yang penting halal, daripada istana mewah tapi dibangun dari
uang korupsi”
“Iya, iya setuju deh”
“Kok, sekarang aku jadi curiga yah. Rasanya ada
yang aneh dengan keluarga Lisa. Pas ditanya dapet rezeki dari mana malah
ngehindar gak mau jawab”
“Ohh” responku atas pandangan istriku itu.
Sebenarnya dalam hati aku juga sependapat.
Aku membawa cerita istriku menjadi benih
kecurigaan. Sikap kecurigaan ini yang membuatku tertarik untuk mengoreknya
lebih jauh. Tapi aku tidak akan menanyainya langsung ke Dion. Ia sudah
menunjukkan sikap ketertutupannya sewaktu di Bogor. Yang terpenting aku sudah
memegang tanggal lahir dan namanya. Karena dua hal itu bisa jadi kunci masukku.
Sehari setelah cerita istri itu, aku langsung
mebuka aplikasi komputer yang dimiliki kantor. Ketika jari ini mengetik nama
dan tanggal lahir Dion, muncul riwayat transaksi keuangannya di bank, asuransi,
dan agen yang membuat mataku membelalak. Degp jantungku seakan berhenti. Oh
ternyata…
Aku langsung mencetak laporan transaksi Dion. Dua
buah, satu untuk aku bawa pulang ke rumah dan satu lagi buat laporan ke atasan.
Kulihat tatapan mata istriku begitu tajam di wajah
yang mengguratkan keseriusan. Dengan teliti ia baca kertas berisi print out
laporan yang aku bawa dari kantor. Selesai membaca laporan itu, ia menatap
mataku lekat.
“Apa yang akan Kakak lakukan dengan laporan ini”
“Aku belum melaporkan laporan itu ke atasanku. Kau
sudah tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Aku ingin mendapatkan dukunganmu.”
“Kakak yakin?”
Aku mengagukkan kepala. Menghilangkan keraguannya.
Ia memelukku erat. Kemudian membisikkan kata yang
membuatku lebih tegar. “Aku setuju,”
Aku pun melaporkan laporan yang aku dapat ke
atasanku. Sikap yang membuat aku harus menghadapi pergulatan emosional di
kemudian hari.
*
Kini aku harus menjadi saksi dengan tersangka Dion,
sahabat karibku sendiri. Menjawab setiap pertanyaan dari Hakim tentang modus
korupsi yang dilakukan Dion.
“Modus yang dilakukan tersangka untuk korupsi
dengan cara memasukkan dana miliaran tersebut ke rekening istrinya. Lalu, sang
istri memecah ke anak mereka yang baru berusia 5 bulan. Anaknya yang 5 bulan
ini juga sudah diasuransi Rp2 miliar, lalu anaknya yang 5 tahun juga
diasuransikan pendidikan Rp5 miliar. Uang itu juga dikirim ke ibu mertuanya,” jawabku mantap.
0 Comments