Ikhtisar penelitian dari salah satu
lembaga penelitian di FKM UI yang mengatakan orang akan berhenti merokok
kalau harga rokok 50 ribu menjadi pemicu sebuah isu yang menjadi viral
di dunia maya. Isu kenaikan cukai rokok berhasil menarik perhatian
public. 
Hasbullah Thabrany, mengatakan bawah
Upaya mengendalikan konsumsi rokok, yang paling efektif dengan harga
mahal. Fakta di dunia menunjukkan, harga rokok yang mahal menahan laju
konsumsi. Untuk membuat rokok mahal itulah dipungut cukai rokok. Cukai
rokok bukan kontribusi industri rokok. Pemerintah negara-negara
berbudaya menetapkan harga dan cukai rokok tinggi untuk mengendalikan
konsumsi. 
Bak gayung bersambut, Tulus Abadi dari
YLKI pun menguatkan pendapat itu. Menurut Tulus, seperti dikutip oleh
Tirto.id, Tarif cukai dan harga rokok di Indonesia termasuk yang
terendah di dunia sehingga anak-anak dan masyarakat miskin masih bisa
menjangkau. 
Masih menurut Tulus, sudah seharusnya
harga jual rokok mahal melalui tarif cukai yang tinggi. Cukai merupakan
instrumen untuk membatasi dan mengendalikan suatu barang yang perlu
dikendalikan dan dibatasi. Dan dukungan kepada kenaikan cukai rokok pun
mendapat banyak dukungan. 
Ramai-ramailah media mengangkat isu
ini. Meski, dari pihak bersebrangan pun muncul reaksi dan penolakan
kepada wancana tersebut. Perang argument tak terhindari. Sebelum isu
semakin merebak, pemerintah angkat suara bahwa wancana itu bukan berasal
dari pemerintah, melainkan hanya dari lembaga penelitian di salah satu
kampus elit Negeri ini. 
Sebagai isu seksi nan sensitive,
persoalan kenaikan cukai rokok memantik pro kontra antara yang setuju
dan tidak setuju. Saya mencatat salah satu isu yang diangkat oleh
penentang kenaikan cukai rokok adalah nasib petani tembakau. Yah, petani
tembakau adalah salah satu pemangku kepentingan yang diseret-seret dan
dibenturkan kepada para pendukung kenaikan cukai rokok. 
Menjadi menarik memperbincangkan nasib
petani tembakau ke depan. Meski isu kenaikan cukai rokok telah reda,
sebenarnya nasib petani tembakau ke depan akan semakin sulit. Di dalam
negeri mereka akan terkena pengaruh dari kenaikan cukai rokok. Presiden
Joko Widodo dalam kampanyenya menjanjikan program Nawacita. Dalam
Nawacita 5, Joko Widodo berjanji akan meningkatkan kualitas hidup bangsa
ini, antara lain, melalui pendidikan (target 1) dan kesehatan (target
2). Dalam target 2 nomor 20 dari Nawacita 5, ia menjanjikan 100 persen
area publik bebas asap rokok di 100 persen kabupaten/ kota pada 2019.
Dalam target nomor 21. ia berjanji meningkatkan cukai rokok 200 persen
dari nilai pada 2019, mulai 2015. Memang terlalu muluk presiden Joko
widodo membuat janji seperti itu. 
Meski demikian, saya menangkap bahwa
ada semangat untuk menaikan cukai rokok, meski saya juga yakin nilainya
tidak akan sebesar janji kampanye. Mau naik 50 atau 100 perak atau
berapapun nilainya kemudian, cukai rokok tetap naik. Masalah lain muncul
dari dunia internasional terkait FCTC (Framework Convention on Tobacco
Control). Tentu ada desakan agar Indonesia menekan perjanjian tersebut.
Hal yang membuat industry rokok kian terjepit. Lantas apa yang sebaiknya
dilakukan oleh petani tembakau agar tidak terkubur dikemudian hari 
Pelajaran dari Putera Sampoerna 
Jauh hari sebelum isu kenaikan cukai
rokok booming, sebelas tahun lalu khalayak dihebohkan oleh aksi Putera
Sampoerna. Tepat sebelas tahun yang lalu, tiba-tiba saja Putera
Sampoerna, generasi ketiga dari Sampoerna, menjual pabrik rokoknya. 18
Maret 2005 Putera Sampoerna menjual 98% atau mayoritas saham HMS senilai
Rp 48 Triliun ke PMI. 
Tindakan melepas seluruh saham itu
tentu sangat mengejutan. Sebab, saat itu HMS sedang berkembang dan
pemiliknya tidak dalam kesulitan keuangan. Bahkan kinerja HMS (2004)
dalam posisi sangat baik dengan berhasil memperoleh pendapatan bersih Rp
15 triliun dengan nilai produksi 41,2 miliar batang. 
Mengapa Putera melepas perusahaan
keluarga yang sudah berumur lebih dari 90 tahun ini? Itu pertanyaan yang
muncul di tengah pelaku bisnis dan publik kala itu. Belakangan publik
memahami visi Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005 versi Majalah Warta
Ekonomi ini (Warta Ekonomi 28 Desember 2005). Dia melihat masa depan
industri rokok di Indonesia akan makin sulit berkembang. Agnes Kurniawan
membuat sebuah analisa SWOT terhadap HM Sampoerna. Hasilnya dijelaskan
sebagai berikut: 

Faktor Internal (Strenght):
Posisi merek yang mantap; Tim manajemen yang kuat; Penentuan harga yg
efektif; Dukungan pemasaran yang terarah (iklan); Program distribusi
wilayah yang terfokus; Pemahaman Sampoerna yang mendalam tentang bisnis
rokok kretek di Indonesia; Mempunyai Corporate Social Responsibility
(CSR) yang tinggi; Memiliki modal yang kuat; Culture yang baik.
Faktor Internal (Weakness): Biaya operasional naik, yaitu minyak tanah sebagai bahan bakar untuk alat pengering naik.
Faktor
Eksternal (Opportunities): Ekonomi Indonesia sedang tumbuh; Lapangan
kerja baru telah banyak tercipta bisa menaikkan daya beli konsumen;
Indonesia Negara konsumsi rokok terbesar ke-5 di dunia.
Faktor Eksternal
(Threats): Aturan makin ketat seperti UU melarang iklan rokok dan
merokok di tempat umum; Cukai makin mahal,; Adanya tariff tambahan;
Kota-kota besar menuju bebas rokok (Sydney, Uni Eropa, Amerika, Jakarta,
Hongkong); Tidak bisa mengharapkan pasar ekspor karena adanya kebijakan
pemerintah di luar negeri untuk membatasi pasar rokok; Ancaman dari
YLKI, WITT dan WHO; Semakin banyaknya edukasi tentang bahaya merokok
“kanker”; Melemahnya daya beli masyarakat akibat naiknya harga BBM. 

Hasil analisis SWOT, seperti yang
telah disebutkan oleh Agnes Kurniawan menunjukkan bahwa HMS memiliki
banyak kekuatan, tapi untuk jangka panjang industri rokok tampak kurang
berprospek akibat banyaknya ancaman dari lingkungan luar. Grand strategy
HMS adalah kombinasi yakni melakukan unrelated diversification dengan
masuk ke bisnis lain dan melepas kerajaan rokoknya. Secara revolusioner
Putera Sampoerna mengubah bisnis intinya dari bisnis rokok ke
agroindustri dan infrastruktur. 
Hal ini terungkap dari
langkah-langkahnya setelah enam bulan melepas saham di PT HM Sampoerna.
Ia mendirikan Sampoerna Strategic sebagai transformasi bisnisnya. Dalam
laman www.sampoernastrategic.com disebutkan bahwa PT Sampoerna Strategic
(“PT SS”) adalah perusahaan swasta yang bergerak di bidang penanaman
modal, berkedudukan di Indonesia dan merupakan bagian dari Sampoerna
Strategic Group. Selain Putera Sampoerna Foundation, yang merupakan
institusi bisnis sosial pertama di Indonesia, Sampoerna Strategic Group
saat ini hadir di lima sector industri, yaitu: perkebunan, keuangan,
properti, telekomunikasi, dan pengolahan kayu. Sampoerna Strategic Group
merupakan transformasi bisnis Sampoerna setelah melepas usahanya di
industri rokok pada tahun 2005. 
Putera Sampoerna memang seorang
pebisnis visioner yang mampu menjangkau pasar masa depan. Berbagai
langkahnya seringkali tidak terjangkau pebisnis lain sebelumnya. ia juga
merupakan seorang change maker, pemimpin yang mampu melihat jauh ke
depan. Ia melihat bahwa ke depannya, asap rokok kian menipis. Maka
Putera Sampoerna mulai mengalihkan kemudi bisnisnya ke arah
agroindustri, infrastruktur dan telekomunikasi. Diliriknya agroindustri,
karena Indonesia kaya akan sumber daya alam yang berhubungan dengan
pertanian dan perkebunan. 
Epilog 
Rhenald Kasali dalam buku Change!
Pernah menulis bahwa tidak ada kata lain dalam ilmu manajemen atau
praktis bisnis yang begitu magis dan misterius selain kata change
(perubahan). Ia bahkan dianggap sebagai sesuatu yang paling magis di
dunia ini. Kadang ia melekat pada diri seseorang dan bekerja begitu
kuat. Getarannya dirasakan sampai urat-urat nadi, dan begitu ia berjalan
di samping kita, dunia seakan bergetar. Kita bisa membencinya karena
change menghancurkan sesuatu yang sudah bertahun-tahun berjalan dengan
normal. Seperti badai tsunami atau tornado, ia mempunyai kekuatan
menghancurkan yang luar biasa. Setelah itu, hal-hal yang dimunculkannya
tampak begitu strange (asing). Aneh. Kita pun menolaknya. Bahkan
melawannya. Tapi hal baru itu bukanya binasa. Malah tumbuh dan menjadi
besar. 
Perubahan pada industry rokok akan
terjadi. Masalahnya tidak semua orang, apalagi petani tembakau, bisa
diajak melihat perubahan itu. Sebagian besar orang malah hanya melihat
memakai mata persepsi. Hanya mampu melihat realitas, tanpa kemampuan
melihat masa depan. Masih menurut Rhenald Kasali, sebenarnya perubahan
besar tidak terjadi secara tiba-tiba. Sebelum gelombang besar dengan
kekuatan tinggi datang, ia telah lebih dulu mengirim signal-signal yang
juga tidak kecil.  Saat itu juga, seharusnya siapapun yang menerima
signal-signal itu merespon dengan berubah. Tetapi karena didiamkan,
gelombang besar itu sama sekali tidak bisa membuat anda bertahan. Anda
bahkan tercerabut sampai ke akar-akarnya dan tumbang. 
Signal-signal perubahan industri rokok
ke arah senjakalanya sudah bergema berkali-kali. Bukan hanya sekedar
wancana kenaikan cukai rokok. Lihatlah analisa swot dari Agnes Kurniawan
di atas. Saat Putera Sampoerna menjual seluruh saham perusahaan
rokoknya pada PMI, sebenarnya kondisi industry rokok sedang stagnan. 
Menurut catatan Adrian Rusmana, kepala
peneliti BNI Securities, dalam tiga tahun terakhir sebelum 2005
pertumbuhan pendapatan perusahaan rokok di Bursa Efek Jakarta (BEJ)
berada di bawah level 10%. Akan tetapi, untunglah, saham perusahaan
rokok masih diminati investor asing. Hal itu karena likuiditas yang
tinggi dan kapitalisasi pasar yang besar. “Kalau kapitalisasi pasar dan
likuiditasnya berkurang, saya kira saham perusahaan rokok tidak akan
populer lagi,” kata Adrian. Namun, semua kondisi tadi membuat bisnis
rokok sejatinya sudah tak bisa lari ke mana-mana lagi, alias sudah
mentok. “Ini industri yang mulai terbenam. Maka, tak mengherankan jika
sejumlah pemilik perusahaan rokok memilih mengembangkan usahanya di luar
bisnis rokok.” Keluarga Hartono, pemilik Djarum, mengembangkan usaha di
dunia perbankan dengan menguasai saham di salah satu perbankan swasta
besar Indonesia, yaitu BCA. Keluarga ini juga memiliki usaha e-commerce
dengan Blibli.com. Selain itu, keluarga ini juga memiliki
perusahan-perusahaan lain yang bergerak diberbagai sektor.
Dan ketik
industri rokok masuk ke senjakalanya, pihak yang terpukul paling dalam
adalah petani tembakau. Karena merekalah yang paling terlambat melakukan
perubahan dan tertinggal dalam kenangan kejayaan masa lalu. Sementara
pemilik perusahaan rokok sudah jauh-jauh hari melebarkan usahanya ke
bidang lain. Putera Sampoerna malah memberikan pelajaran paling menohok,
jual saja perusahaannya saat nilai jualnya tinggi dan beralih ke bidang
lain.
Mau tidak mau petani tembakau harus berbenah dan mencoba
melebarkan usahanya pada komoditas lain. Salah satu komoditas industrial
yang karakter lahannya mirip dengan tanaman tembakau serta pemenuhannya
masih impor adalah jagung, khususnya jagung untuk pakan ternak. Di Tangerang perhari lebih dari 50 ton jagung diproses jadi pakan ternak,
sebagian impor dari luar negeri seperi Brazil dan india, dan impor dari
provinsi lain seperti Gorontalo. Atau komoditas lain yang bisa
dikembangkan sesuai dengan hasrat sendiri.
Tulisan ini hanya sekedar untuk membuka diskusi. Sekian!

Referensi Agnes Kurniawan.
why Putera sold his Sampoerna? Diturunkan dari https://agneskurniawan.wordpress.com/2009/03/26/tanya-kenapa-putera-menjual-sampoerna-nya Anonim.Biografi Putera Sampoerna – Pemilik PT Sampoerna. Diturunkan dari http://www.biografiku.com/2009/12/biografi-putera-sampoerna-pemilik-pt.html Hasbullah Thabrany.Rokok dan Nawacita.Diturunkan dari http://print.kompas.com/baca/2016/04/27/Rokok-dan-Nawacita
Rhenald Kasali. 2005.Change!. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
YLKI: Seharusnya Cukai Rokok Tinggi. Diturunkan dari https://tirto.id/20160822-50/ylki-seharusnya-cukai-rokok-tinggi-305193
Categories: Kewirausahaan

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *