Bagamana menyudahi rindu yang teramat dalam dan menahun pada orang
yang telah berubah sangat membencimu?

Itulah yang dialami Jajang.

*

Semburat cahaya menerpa tubuh ringkih di pembaringan. Hadirnya
tegaskan wajah sayu penuh kelelahan. Usia telah menggerogoti tubuh yang dulunya
begitu kekar dan teguh.

Jajang terkesiap melihat pemandangan itu. Ia ingin mendekat dan
berhambur memeluk tubuh tua yang terbaring itu. Sepuluh tahun tak bersua. Rindu
begitu besar. Menggunung.

Ragu-ragu Jajang melangkah. Tangannya terangkat coba menggapai
wajah penuh lelah. Keraguan menjadi-jadi. Membuat tangannya bergetar. Takut
jika luka lama masih membekas.

Belum sempat tangan Jajang mendarat. Lelaki renta itu terjaga.
Tatapannya tajam. Tatapan mata menusuk kalbu. Tatapan mata yang membuat Jajang
berkunang. Pandangannya kabur. Pikirannya berpilin. Jiwanya terlontar ke tempat
lain.

Cahaya terang membuat mata Jajang perih. Beberapa detik kemudian ia
sadar. Ia berada di kamar tidurnya.

“Kamu mimpi buruk lagi yah, yang” kata Istrinya yang berbaring di
samping. Ikut terbangun karena ulah suaminya.

Jajang menghela nafas panjang. Mimpi buruk? Bukan mimpi buruk tapi
mimpi aneh. Ia melihat abahnya terbaring. Mimpi yang sama seminggu ini. Seperti
sebuah pertanda.

*

Pagi kembali hadir. Mentari menyapa. Sayang sinarnya tertutup
kabut. Ibukota belakangan selalu begitu. Polusi mengkungkung langit. Hingga
sinar bening milik sang surya pun membiaskan cahayanya.

Sementara di kulit bumi, manusia mulai beraktifitas diselingi keresahan.
Seminggu lagi puasa, kebutuhan pokok selalu meloncat naik. Padahal waktu makan
di bulan puasa berkurang.

Keresahan juga merasuki jiwa Jajang. Ia tidak resah dengan harga
kebutuhan pokok yang selalu meloncat-loncat setiap bulan Puasa. Tapi ia resah
dengan mimpi-mimpi malamnya. Resah dengan perasaan akan abahnya.

Keresahan jiwanya akan bertambah-tambah. Setiap tahun pasti istri
dan anak-anaknya akan meminta untuk bertemu dengan orang tua Jajang. Seperti
pagi ini.

“Yang, lebaran tahun ini. Jadi pulang ke rumah orang tuamu tidak?”

Pertanyaan yang membuat raut wajah Jajang pias. Ia ingin pulang
membawa istri dan anak-anaknya ke kampung halaman. Ia ingin meluluskan
permintaan penuh harap istrinya. Namun, ia tak pernah punya keberanian. Ia
takut akan luka lama yang pernah tergores di kampung halamannya. Terlalu takut
malah.

“Kita lihat nanti saja.”

Istrinya menghela nafas demi mendengar jawaban itu. Jawaban yang
sama dari tahun ke tahun.

“Baiklah.”  

Dan hanya jawaban itu yang keluar dari istrinya. Wanita itu juga
tidak pernah mau menelisik lebih jauh alasan suaminya. Setelah menikah dengan
Jajang, tujuan hidupnya begitu sederhana: suaminya ikhlas ia menjadi istrinya
dan suaminya ridho akan apa yang ia lakukan untuk suaminya. Sederhana. Jadi
mana berani ia menelisik rahasia suaminya, mengungkit-ungkit masa lalu asal
usul suaminya yang telah dikubur dalam-dalam.

*

Mimpi-mimpi malam tentang abah kembali membayangi Jajang. Sempurna
hadir tiap malam sebelum sahur. Bagai sebuah siksaan psikologi. Mimpi itu
membuatnya tak tahan. Ia tekadkan berani mengambil keputusan.

“Lebaran ini, aku akan mengajakmu pulang ke kampung halamanku,
Yang. Menemui keluargaku.”

Kontan saja kabar itu membuat istri dan anak-anaknya gembira.

Berpilin berputar lalu terdampar pada sepuluh tahun lalu. Saat itu
Jajang baru akademi pendidikan di Serang.

Waktu yang dijanjikan tiba. Setelah pagi mereka merayakan
kemenangan. Siang harinya berbegas ke terminal. Menumpang bus antar kota antar
provinsi ke arah ujung barat pulau Jawa.

Saat yang menyenangkan bagi istri dan anak-anaknya.  Tapi bagai masa penantian penghakiman bagi
jajang.

Jajang resah. Duduknya sangat tidak nyaman. Kursi empuk dengan
sandaran terasa bagai kursi pesakitan. Keringat dingin merembas pori-porinya.
Ia masih belum bisa merangkai fragmen yang akan terjadi saat mereka tiba di
kampung halamannya.

Bus singgah di sebuah terminal kota provinsinya. Satu dua pengamen
menampilkan atraksi. Sampai seorang pengamin dengan gitar berwarna coklat tua
naik dan menyanyikan sebuah lagu. Lagu lama Iwan Fals. Lagu yang membawa Jajang
melayang ke masa lalu.

Saat itu Jajang baru lulus sekolah menengah atas. Sebagai anak
laki-laki terbesar di keluarganya, ia bertekad mencari pekerjaan. Membantu
ekonomi keluarga dan mengurangi beban abahnya. Sayang sekali krisis ekonomi
yang disusul krisis multidimensi tengah melanda. Pekerjaan yang dicari tidak
pernah ada, yang ada justru pemutusan hubungan kerja massal. Ekonomi Negara
yang katanya subur makmur kolaps seketika.

Di desa serba sulit, meski kampung halamannya tidak jauh dari
ibukota Negara, tetapi pembangunannya sangat jauh tertinggal. Apalagi dampak
krisis juga membuat kehidupan yang sudah serba sulit makin sulit. Ditambah lagi
ekonomi keluarganya yang nyaris sekarat.

Ia jadi gelap mata demi memenuhi tuntutan cacing-cacing diperut
yang menuntut atas kelaparannya. Melupakan petuah abahnya. Melupakan ajaran
orang yang dikenal sangat baik. Orang yang penuh kasih sayang kepada
keluarganya. Dengan dingin mencuri seekor kambing milik tetangga desa. Lalu
menjualnya untuk makan keluarga.

  Tragis aksinya tercium. Ia
babak belur dihajar massa. Tubuh lebam penuh luka. Dijebloskan dalam terali
besi dingin penjara.

“Abah tidak mendidikmu untuk jadi seperti ini, Jajang! Tidak
pernah. Abah susah payah menyekolahkanmu agar kau punya masa depan yang lebih
baik. Bukan jadi pencuri.” Kalimat abah bagai halilintar menyambar Jajang.

Abah begitu marah. Sangat marah. Tatapannya merah menyala melihat
anak lelaki terbesarnya jadi pesakitan.

“Kau melupakan petuah abah. Abah tidak pernah mendidik anak-anaknya
jadi maling. Abah selalu mengajarkan untuk mencari penghasilan yang hahal. Tak
pernah ada dalam tradisi dalam keluarga kita memakan makanan dari uang haram. Lebih
baik miskin. Lebih baik kelaparan, dan itu lebih baik dari pada mencuri!”

“Bukankah itu abah katakan berkali-kali kepada anak-anak abah?
Kenapa kau melakukan apa yang abah sangat benci. Mencuri?”

“Kau melakukan kesalahan besar. Abah tidak mau melihatmu lagi
pulang ke rumah. Kau menconreng harga diri abah”

Kalimat itu yang membuat Jajang jauh lebih sakit dan perih daripada
luka lebam di sekujur tubuhnya. Maka keluar dari sel ia langsung pergi
meminggalkan kampung halamannya. Rasa bersalahnya kepada abah begitu besar. Ia
tidak pernah berani pulang ke rumahnya bertemu abah. Bertemu sosok yang sangat
di segani warga karena sikap sederhana dan menolak setiap pemberian yang asal
usulnya tidak jelas.

Pergi jauh meninggalkan kampung halamannya menuju ibu kota. Hidup
dari satu stasiun ke stasiun lain. Sayangnya ibu kota tidak ramah. ia
terjerembab ke julang hitam anak jalanan. Menjadi preman dengan bekal silat
yang dulu diajarkan guru ngajinya. Bekal yang seharusnya diamalkan untuk
membela kebaikan. Malah membebalkan hati menghalakan yang haram demi urusan
perut.

Sampai ketika ia menodong seorang bapak paruh bayah. Ia seperti
menemukan sosok abahnya. Rasa bersalahnya kembali timbul. Apalagi bapak itu
membalas kelakuannya dengan balasan yang sangat berbeda. Balasan kebaikan.

Jajang ikut dengan orang itu sebagai pembantu di tokonya. Menjalani
kehidupan baru dengan janji kehidupan yang lebih baik. Melarung masa-masa
kelamnya. Memperbaiki diri dengan nasehat demi nasehat bijak. Bekerja pada
orang itu seperti bekerja kepada abahnya.

Jajang tipikal cerdas dan pekerja yang tekun. Ia menjaga kepercayaan
dengan baik. Toko itu berkembang dari tahun ke tahun. Sampai tahun kelima ia
dipecaya mengelola cabang toko. Membuat orang tua yang dulu pernah ditodongnya
seperti menemukan harta karun. Membuat orang tua itu tak segan-segan meminta
Jajang menikahi anak gadisnya.

Jajang menikah dengan wanita baik-baik dari keturuan yang baik
pula. Janji kehidupan yang lebih baik telah datang. Keluarga kecil itu tumbuh
bermekaran bagai bunga di musim semi. Anak-anak kecil mulai hadir mengisi
kehidupan mereka. Hanya saja, istri dan anak-anaknya tidak pernah tahu keluarga
Jajang di Kampung. Jajang sempurna menyimpanya begitu rapat, karena ulah
bodohnya dulu.

Semua kenangan itu bagai slide film yang diputar. Berlatar musik
jalanan. Hadir dalam benak Jajang yang resah.

Aku pergi meninggalkan coreng hitam di muka bapak yang membuat malu
keluargaku. Aku ingin kembali mungkinkah mereka mau menerima rinduku.

Seperti penggalan lirik lagu itu. Pertanyaan terbesar yang
membuncah di dada Jajang. Sebuah luka yang ia buat dan mencoreng martabat
abahnya, apakah mereka mau menerimanya lagi. Menerima kerinduan yang sekian
lama tertanam mengurat mengakar tumbuh rimbun?

*

Langkah kaku Jajang memasuki halama rumah yang dulu pernah
membesarkannya. Seorang wanita tua yang duduk di teras rumah tampak kaget
melihat rombongan kecil keluarga Jajang. Ia kemudian berteriak haru

“Jajang”

Jajang berhambur memeluk tubuh tua itu.

“Mak, Jajang pulang.” Ujar Jajang lirih sambil mencium tangan
emaknya.

“Akhirnya kau pulang, nak. Sudah lama kami menunggu kepulanganmu.”

Ibu anak itu melepas rindu. Berbincang haru akan kabar
masing-masing. Jajang memperkanalkan anak dan istrinya. Wanita tua itu begitu
berbinar melihat istri dan anak Jajang.

Sampai jajang bertanya kabar abahnya

“Abah bagaimana kabarnya”

Wanita tua itu sedetik kemudian terdiam. Wajahnya muram.

“Abahmu sudah lama sakit. Semenjak kepergianmu dulu. Ia begitu
kehilangan. Tubuhnya melemah dan sakit-sakitan. Sekarang terbaring dalam rumah”

Jajang pias. Ayahny ternyata menyimpan rindu yang sama. Rindu
kepulangan dirinya. Rindu bertemu.

Jajang langsung lari masuk rumah. Ia menuju kamar ayahnya. Pintu
terkuak, ia melihat sosok abahnya yang ringkih.

Abah terkejut akan kedatangan Jajang. Mulutnya kaku merapalkan nama
anaknya.

Sementara Jajang sudah bersimpuh meminta maaf akan luka masa lalu.
Tindakan bodohnya.

Lengan abah mengusap kepala Jajang. Dengan lirih ia berkata ”Abah
mencintaimu, anakku. Itu sebabnya abah mengharapkan pertemuan ini. Agar kamu
tahu abah tetap mencintaimu. Karena itu abah tidak pernah usai mendoakan
keselamatanmu. Sampai nafas ini hilang diambil kembali pemilik-Nya.”

Ruang itu berpendar penuh cahaya. Cahaya kerinduan yang akhirnya
menemukan pelampiasaannya…

 

Categories: Cerpen

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *